Kemarin pagi buka pesbuk, nemu curahan hati suami [gw dan suami memang berbagi account FB]. Gw baca isinya, dan langsung bisa menebak bahwa laki gw tercinta sedang merindukan Nyokapnya, yang notabene adalah mertua gw dan Neangnya Zahia, Hj. Utin Nengrumwati alm. Inilah goresan rindu yang Abang tulis kemarin malam, jam 22.37 pm, dari Hotel Perdana, tempatnya menginap di Lawas [yup, Abang biasa deh lagi dinas luar].
----------------------------------------------------------------------------------
Mama ................................. in memoriam...
Ketika masih ada.... Aku sering kali tidak bisa menghargai keberadaannya.... Ketika dikritik olehnya...
Aku sering kali sombong dengan ke akuan ku...
Ketika beliau semakin senja dan memerlukan perhatian...
Aku sibuk dengan urusan sendiri... .........
..............
....................
Sekarang Ibunda tersayang Hj. Utin Negrumwati sudah tiada...
Aku hanya bisa mendo'akanmu...
Kuharap Allah SWT mendengarkan dan mengabulkan semua do'aku...
Ibunda....maafkan anakmu ini yang tidak bisa membahagiakanmu...
Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala jerih payah, usaha dan kasih sayangmu dalam membesarkanku...
Apa yang aku capai ini semua adalah atas do'a restumu...
I love you Ibuku.......
...Ananda...
----------------------------------------------------------------------------------
Membaca ini, ingatan gw langsung melayang kepada sosok Mama mertua. Abang adalah anak sulung dari 6 bersaudara, dan sangat dekat dengan Nyokapnya. Setelah menikah, kami langsung kembali ke habitat kami di pedalaman hutan dan tinggal di camp, sehingga tidak pernah merasakan tinggal bareng dengan orang tua, baik ortu gw maupun ortunya Abang. Ketika gw hamil 3 bulan dan alhamdulillah Abang keterima kerja di Malaysia, dalam rentang menunggu dokumen2 dipersiapkan oleh perusahaan tempat Abang bekerja sekarang, selama 2 bulan kami stay di Singkawang. Awalnya gw sempet ketar-ketir juga, ngebayangin gimana rasanya tinggal seatap dengan mertua. Dimana2 yang judulnya’mertua’ kan agak2 bikin parno [hehehe, imbas dari sinetron neh, padahal gw bukan penggemar sinetron!!]. Ngeri ngebayangin kalo ada konflik sedikiiiittt ajah pasti bisa langsung bikin korsleting tingkat tinggi. Tapi dengan mempersiapkan mental, dan berjanji untuk mengubah gaya hidup malas2an gw seperti malas nyuci baju, malas nyetrika, malas bersih2, dan malas keramas [lho?!?!], gw akhirnya siap lahir batin untuk menjalani hidup 2 bulan dengan mertua. Bismillah.
Ternyata sodara2, mertua gw jauh dari bayangan yang serem2. Sama sekali ga bertaring dan menghisap darah [drakula kalee]. Beliau berdua sangat baiiiiikkkk sekali. Bener2 nrimo gw apa adanya: gw yang rakus dan makannya banyak; kaga bisa masak [dulu loh, sekarang mah dah jago hihihi sombong pisan!]; nyuci baju dan nyetrika hobinya nyuruh ART; lagi hamil bandel ga bisa disuruh diem di rumah karena kapanpun jam berapapun mo pagi-siang-sore-malem-subuh kalo udah kumat kepengen liat pasar langsung kabur dari rumah sama Abang; setiap jam 9 malem kelayapan ga ada di rumah, nangkring di Toko Roti Kaisar beli roti diskon; dan masih banyak kelakuan gw lainnya yang mungkin bikin Beliau berdua geleng2 kepala dan sholat taubat.
Gw ngerasa sangat disayang oleh mertua, secara menantunya baru sebiji. Minta duren, langsung Bapak mertua dengan siaga membelikan duren sekarung, ga tanggung2. Mo makan ati sapi, Mama mertua pulang dari pasar, sebelum berangkat kerja, nyempetin dulu masakin tu ati spesial buat gw. Dan yang bikin gw kaget, waktu kami ada undangan selamatan rumah saudara di Sanggau Ledo, beberapa jam sebelum kami berangkat Mama mertua mengetuk pintu kamar sambil manggil “San….San….”. Gw pikir ada apaan, ternyata Beliau memberikan sebuah gelang emas 10 gram untuk gw. Katanya “Ini Mama beliin gelang buat Susan. Mudah2an Susan suka yah modelnya”. Ya ampyun, betapa tidak bersyukurnya gw kalo udah dikasih gelang beserta suratnya, eh pake acara protes pula. Gw langsung mencium Beliau dan bilang “Makasih yah Mah. Susan suka banget ko, cantik modelnya. Kalo Mama mo kasih cincin sekalian juga gapapa ko”. Hehehe, kalimat terakir ga gw ucapin koq, boong doang. Mo disunat apa dikasih terus minta tambah?!
Lebaran taun lalu, kami menghabiskan waktu cuti Abang yang hampir 1 bulan di Singkawang. Saat itu kondisi Mama memang sedang kurang sehat. 2 bulan sebelumnya Mama jatuh dari motor. Ceritanya pas Mama dan Bapak mo pergi kondangan, di tengah jalan selendang yang Mama pake masuk ke jari2 motor. Jatuhlah Mama dengan posisi duduk ke jalan. Akibatnya, tulang bagian pinggul bergeser sedikit, sehingga Mama sempat tidak bisa berjalan selama 2 minggu, dan masuk RS untuk opname 1 minggu. Setelah itu kondisi Mama jadi kurang begitu fit, penyakit2 silih berganti menghampiri, mulai dari pusing kepala berkepanjangan, demam, panas-dingin ga karuan, badan pegel linu, mencret2, tapi alhamdulillah bukan sakit yang berat2.
Menjelang Lebaran, rumah yang biasanya sudah meriah dengan toples2 yang berisi aneka ragam kue bikinan sendiri, kemarin hanya berisi kue2 ala kadarnya, hasil beli dari Supermarket. Juga kue lapis spesial, biasanya sudah ready barang 4-5 loyang, tapi karena Mama tidak sempat membuatnya maka kami hanya memesan dari keluarga, dan tentu saja rasanya berbeda dengan buatan Mama. Adegan masak-memasak opor ayam, rendang daging, dan berbagai hidangan lainnya, yang biasanya sudah dilakukan sejak 2 hari sebelumnya, kali ini hanya dikerjakan dadakan, dengan menu sederhana, oleh Abang sebagai Chef, dengan dibantu adik2. Meskipun demikian, dalam keadaan lemah seperti itu, Mama tetap kerja, jika merasa badannya agak enakkan. Beliau juga tetap berpuasa, sholat (duduk karena udah ga kuat berdiri lalu jongkok), dan ngaji. Gw sering mendengar lantunan ayat2 suci mengalir dari mulut Mama, di pagi2 buta, saat seisi rumah tertidur lelap. Setiap hari. Acara buka bersama dengan mengundang anak2 yatim yang selalu diselenggarkan dari taun ke taun pun tetap Mama adakan, meski kali ini bukan Mama koordinator masaknya, melainkan sodara2 kakak-beradik dari keluarga Bapak.
Pada hari nan suci, Idul Fitri, Mama tidak sholat Ied karena ga kuat untuk pergi ke masjid. Selain Mama, gw dan adik ipar yang bungsu juga tidak sholat, gw harus jaga Zahia yang demam, dan Jamilah sedang datang bulan. Kata adik ipar gw “Teh, Mama tadi nangis. Katanya Lebaran kali ini kaya bukan Lebaran. Mama ga sholat Ied, ga bikin kue, ga masak2, ga bisa ngapa2in, di tempat tidur ajah”. Gw sedih banget dengernya. Ketika sanak sodara, keluarga, tetangga, dan tamu2 berdatangan, Mama memaksa diri untuk berdandan dan menemui orang2 yang mau bersilaturahmi. Mama bersikeras bangun dari tempat tidur, meskipun sedang meriang, berupaya untuk sebisa mungkin tidak mengecewakan mereka2 yang telah datang.
Gw jadi ingat, seminggu sebelum Lebaran kami shopping ke Pontianak: gw, Abang, Zahia, Mama mertua, dan Nyokap gw. Waktu gw tanya “Mama beneran kuat ke Pontianak? Kalo emang Mama cape tar ga usah ikut ke mall, di rumah ajah”. Mama bilang “ Gapapa, Mama kuat ko ke mall. Lagian pengen jalan2 sama Zahia”. Yo weiis kalo gituh. Mama terlihat senang sekali, bahkan sempat ikutan keliling2 mall sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk menanti kami di kursi2 yang ada di selasar mall, ditemani oleh Mo Anis, adik Abang no.4. Begitu juga ketika 3 hari setelah Lebaran, kami mau berjalan2 ke Sambas, mengunjungi adiknya Bapak (kami sebut Mak Ning), Mama tetap ingin ikut. Lagi2 alasannya pengen jalan2 sama Zahia. Ya sutra lah kami pun tidak melarang. Ketika kami sudah mau pulang ke Bitulu, Mama ikut mengantar kami ke airport. Mama menciumi Zahia, cucu pertama dan satu2nya yang sempat dilihat, dengan lembut, berpuluh2 kali.
Temans, takdir setiap hamba hanya Sang Pemilik Hidup yang mengetahui. Hidup, mati, rezeki, jodoh, merupakan rahasia, dan tidak ada seorang pun yang memiliki kemampuan untuk menguaknya. Maut bisa datang kapan saja, tanpa memberi kabar sebelumnya. Begitu juga lah yang terjadi dengan Mama. 11 hari setelah kami kembali ke Malaysia, Mama dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Pukul 5 WIB, tepatnya. Tapi, ada suatu kejadian dodol yang sangat kami sayangkan. Dari siang hape gw di-silent karena sedang menidurkan Zahia, dan lupa dibesarkan kembali suaranya. Hape Abang lagi dicharge. Kami baru mengetahui kabar Mama telah tiada sekitar pukul 7 pm lewat, saat sedang makan malam, via sepupu di Bandung yang menelepon ke hape Mama. “Zul, udah tau kabar dari Singkawang, belum?” tanya Ka Sri. Abang pun menjawab “Belum Ka, memang ada apa?”. Ka Sri tidak bicara apa2, hanya menyuruh kmi sesegera mungkin menelepon ke rumah. Ternyata, ketika gw mengambil hape, ada beberapa sms yang mengabarkan mengenai wafatnya Mama. Dan saat hape Abang dihidupkan, sudah ada lebih dari 30 miscall dan sms yang mengabarkan hal serupa. Spontan Abang langsung meminta gw menyiapkan tas dan barang2 secukupnya karena Abang mo pulang malam itu juga, dengan menggunakan bus, karena untuk pesawat yang terakhir ke Kuching adalah pukul ½ 8, dan sudah tidak terkejar. Gw pun menyiapkan sebuah tas, isinya baju2 Abang, gw, dan Zahia. Awalnya Abang dan Nyokap sangat2 ga setuju gw dan Zahia ikut pulang juga, karena perjalanan dengan menggunakan bus memakan waktu 22 jam lebih. Tapi gw bersikeras, bahwa yang meninggal ini adalah emak mertua gw, yang berarti orang tua gw sendiri, bukan orang lain. Kalo mengenai Zahia diserahkan ajah sama Yang Maha Pengatur, karena gw yakin Insya Allah Zahia kuat. Akhirnya pukul 8 pm, diantar Mr. Rajan, kami menuju terminal bus. Busnya sendiri baru berangkat pukul 9 pm. Bismillah, perjalanan panjang segera dimulai. Untung gw ingat membawa sleeping bag nya Zahia karena di bus sangat dingin sekali.
Kami sampai di Pontianak pukul 3 pm keesokan harinya. Di sepanjang perjalanan, hape Abang berdering selalu, keluarga menanyakan posisi kami sudah sampai mana. Abang bilang dengan keluarga agar Mama secepatnya dikebumikan saja, tidak usah menunggu kami datang, Abang sudah mengikhlaskannya. Lagipula kasihan Mama jika terlalu lama. Kami datang di rumah pukul 6 pm, disambut dengan adik2, yang langsung memeluk kami dengan berlinangan air mata. Bahkan, adik Bungsu Abang yang masih duduk di bangku SMP, Jamilah namanya, pingsan berkali2. Dialah yang menemukan Mama telah tiada di depan tivi, sehingga masih shocked berat, apalagiJamilah baru berusia 15 taun [Bapak mertua sedang dinas ke Solo, adik2 semuanya lagi ke Pontianak, jadi di rumah hanya ada Mama, Jamilah, dan adik Mama beserta suaminya yang kebetulan sedang main ke rumah]. Keesokan harinya, pagi2 sekali, kami (gw dan Abang) nyekar ke makam Mama. Hanya doa yang dapat kami panjatkan, semoga Mama diterima oleh Allah SWT, diberikan tempat terbaik disisi-Nya, diampuni segala dosa2nya dan diterima segala amal perbuatannya. Amien.
Laki2, sekuat apapun, tidak bisa menyembunyikan perasaannya, terutama dari orang2 terdekat seperti istri. Abang, yang berusaha terlihat tegar di depan keluarga dan teman2 yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa, ternyata roboh juga pertahanan dirinya di pelukan gw. Menangis sekeras2nya, menumpahkan air mata cinta untuk Sang Ibunda, mencurahkan kepedihan karena kehilangan yang kian terasa nyata adanya. Bagaimana tidak, Abang bahkan tidak bisa melihat wajah Sang Ibu, mencium, memeluk, dan membelai untuk yang terakhir kali. Hanya gundukan tanah merah yang kami jumpai pagi itu. Juga baju2 Mama yang digunakan saat kerja terakhir kalinya dan kain penutup jasad Mama, yang Abang cuci semua, sebagai pengobat rindu. Gw, dengan terdiam memeluk erat laki gw, dan bilang bahwa gw akan selalu disisinya, untuk saling menguatkan dikala suka ataupun duka. Kala itu memang tidak diperlukan banyak kata atau rentetan kalimat, karena pilu tetap akan ada meskipun kita mencoba menghibur dengan bait2 bijak mengenai perpisahan, takdir, dan ikhlas. Zahia, dengan umur yang belum genap setahun, ternyata bisa mengerti kesedihan Ayahnya, sehingga dia mendekati Abang dan memberikan ciuman dengan bibir mungilnya. Betapa takjub gw melihat kejadian itu. Kami bertiga berangkulan, lama …. lama sekali, hingga perlahan2 air mata mengering dan perih mencoba beranjak pergi, meski langkahnya tertatih2.
Orang2 bilang, bahwa Insya Allah Hj. Utin Nengrumwati pergi dalam keadaan khusnul khotimah. Kepergiannya tidak merepotkan. Sejak diumumkan berita Beliau telah berpulang ke Rahmatullah jam 5 pm waktu Indonesia bagian barat, orang2 berdatangan, bahkan sampe dini hari, ratusan orang. Mulai dari walikota Singkawang beserta jajaran staffnya, engkoh2 Cina pemiliki warung depan kompleks, hingga tukang becak langganan Mama, semuanya datang melayat. Begitu juga saat Mama dikebumikan, beratus2 orang mengantar Mama menuju rumah peristirahatan terakhirnya. Amplop yang terkumpul, jumlahnya puluhan juta. Subhanallah Mama, betapa mulianya dirimu.
Ada 2 kejadian yang bikin gw sangat sedih sekali, yaitu ketika 3 hari setelah Mama ga ada, adik2nya Abang sedang beberes kamar untuk mengumpulkan pakaian, kain2, kerudung, tas, sepatu, dan harta-benda Mama lainnya, yang akan diberikan kepada keluarga yang menginginkan sebagai kenang2an dan sisanya akan diberikan kepada orang2 yang kurang mampu. Saat itu Jamilah memberikan sebuah gaun pesta anak2. Katanya “Teh, ini baju Dede waktu umur 4 taun. Kata Mama baju ini buat Anaknya Bang Long, Zahia maksudnya [Bang Long sebutan untuk anak tertua]. Sambil menerima baju pink yang sangat cantik itu, gw ga kuasa menahan air mata, yang mulai merembes di pipi. Ga lama kemudian, ketika Srie adik Abang nomor 3 membuka laci, dia menemukan sebuah amplop yang sangat gw kenali, karena merupakan amplop THR dari gw dan Abang. Gw ambil, disitu terlihat bahwa amplop udah pernah dibuka, tapi uang di dalamnya masih utuh, bahkan sudah dikasih klip. Tumpah ruahlah air mata yang awalnya gw jaga agar tidak menetes banyak. Ya ampun Mama, ternyata uang itu tidak Beliau gunakan untuk membeli perlengkapan Mama seperti baju dan sebagainya, tapi Beliau tabung. Oya, satu lagi yang gw dengar dari adik ipar gw, Umi, dia bilang kalo setelah kami pergi Mama selalu menimang2 poto Zahia yang dipigura dan diletakkan di atas televisi, sambil berkata “Udah 1 hari Zahia ga di Singkawang”. Keesokan harinya bilang lagi “Udah 2 hari Zahia ga sama Neang”. Begitu seterusnya hingga hari ke-11 Beliau berpulang.
Ada 3 amal yang akan terus mengalir kepada orang2 yang sudah meninggal, yaitu ilmu yang bermanfaat, harta yang bermanfaat, dan doa anak sholeh. Insya Allah kami akan terus mengirimkan doa untuk Mama. Oya, alhamdulillah juga cita2 Mama untuk mengajak Syuhada dan Eni umroh jika Mama pensiun nanti, sudah terlaksana, karena tepat tanggal 19 April kemarin, kedua adik kami itu plus Sri (adik Abang no.3), berangkat ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah umroh.
Hj. Utin Nengrumwati binti H.Abang Mas’ud
Lahir : Sanggau, 27 Desember 1957
Wafat : Singkawang, 11 Oktober 2009
Meninggalkan
Suami : H. Mastur H. Mattudin
Anak & Menantu :
1. Zulfadhli HM & Susan Noerina
2. Ahmad Syuhada & Umi Jayariyah
3. Sri Wahyuni & Mas Indra Gunawan
4. Eni Kartini
5. Heni Apriani (alm)
6. Jamilah
Cucu :
1. Zahia Shahmin Najla
2. Mas Farras Waldan Gunawan