Tuesday, 9 February 2010

“Doakeun Neng nya Mak”

Beberapa hari lalu, gw menonton Opini di TV One, sedang membahas mengenai anak2 di bawah umur, sekitar 15-16 tahun, sebagian besar merupakan pelajar SMU, yang dijadikan Pekerja Seks Komersil. Si GM alias germo memasarkannya melalui jejaring sosial facebook, mulai dari harga 400 rb s/d 800 rb rupiah. Ada 3 bintang tamu pada saat itu: Dokter Boyke, Ka Seto (dihubungi via phone, tidak hadir langsung), serta seorang lagi yang gw lupa namanya dan ga “ngeh” apa pekerjaannya karena gw nonton terlambat sudah di tengah2 talkshow tersebut, kita panggil saja Mr. L. Ada kalimat yang diucapkan oleh Mr.L yang sangat menarik perhatian gw. “Di Singapore, prostitusi itu legal. Pemerintah bahkan menyiapkan tempat khusus untuk bisnis seperti itu. Pada saat saya berkunjung kesana, ternyata banyak PSK yang berasal dari Indonesia, seperti Sukabumi, Indramayu, dan Kuningan”.

Miris sekali gw mendengarnya. Kita terkenal bukan hanya sebagai Negara yang kaya akan hasil alam dan keelokan negerinya, atau kain batik yang sudah dijadikan world heritage, tapi kita juga tersohor sebagai negeri para PSK tersebut berasal. Di Bintulu sendiri, banyak pub yang dengan bangga menuliskan pada poster yang terpampang di pintu depannya “Hot from Indonesia”. Di poster yang ukurannya terbilang besar itu dipajanglah foto2 perempuan2 Indonesia dengan senyum merekah, menggunakan pakaian ala kadarnya saja sehingga aurat terobral kemana2 [gw sampe bingung apa ga masuk angin yah pake baju model begituh?!].

Berbicara mengenai Indramayu dan Kuningan, seperti yang Mr. L bilang, gw memiliki pengalaman sendiri. Dulu, jaman Kuliah Kerja Praktek, anak2 HPT (Hama Penyakit Tumbuhan, jurusan gw tercinta), dikirim ke 3 tempat, yaitu Kuningan, Indramayu, dan Bandung. Gw ditempatkan di Kuningan dengan 10 teman HPT lainnya. Di perjalanan menuju Kuningan, saat melewati pesisir pantai Indramayu, gw melihat di pinggir jalan banyak berjajar warung2 yang kalo sekilas melihatnya menjual makanan dan minuman. Saat bis berjalan merayap karena macet, gw memperhatikan dengan seksama pada beberapa warung berkumpul cewe2 yang rata2 menggunakan tanktop. Gw jadi bertanya2 dalam hati apakah cewe2 itu merupakan pengunjung warung. Tapi sepertinya ga karena gw ga melihat ada makanan ataupun minuman di meja. Atau mereka adalah pelayan di warung tersebut? Ini juga ga mungkin karena warung kecil seperti itu bisa gulung tikar kalo ngegaji banyak helper. Akhirnya gw gatel nanya sama temen yang cowo, terus temen gw bilang “Ya ampyun San lo kaya kaga tau ajah, itu tuh cewe2 yang lagi pada menanti pelanggan”. Oh, ok deh. Berarti pikiran yang terlintas di otak gw bukan cuma suudzon gw doank.

Masih di bis Bogor-Kuningan saat melewati pesisir pantai Indramayu, tiba2 masuklah tiga orang cewe dengan pakaian sexy. Dua orang dari mereka membawa alat musik berupa gitar dan kecrekan. Tanpa membuang waktu mereka pun langsung unjuk kebolehan. Suara sang vokalis yang kacau balau membawakan lagu "Kopi Dangdut", plus gitar sumbang yang nadanya ga beraturan, ditambah iringan kecrekan yang kocar-kacir, ketiga cewe pengamen itu dengan sukses membuat para penumpang di bis tanpa AC ini mabok kepayang. Hebatnya, walopun penampilan mereka luar biasa parah dan dapat menimbulkan infeksi telinga bagi yang mendengar, mereka ga peduli, bahkan semakin asyik meliuk2kan badan seperti cacing kepanasan. Si vokalis yang berpakaian paling sexy, dengan dahsyatnya melakukan goyangan ngebor ala Mbakyu Inul sampe hampir mo tiarap, sambil sesekali menyenggol2kan tubuhnya ke laki2 yang ada di dekatnya. Top markotop!! Ini mo ngamen ato menjajakan diri tengah hari bolong di tempat umum ?!?!

Dari cerita temen gw, ada satu kampung yang letaknya besebelahan dengan desa tempat dia KKP [gw ga akan menyebutkan nama kampungnya], isinya adalah Bapak2, ibu2, nenek kakek, dan anak2 kecil. Ga ada satupun anak gadis yang dia temukan berkeliaran. Setelah bertanya kepada pendduduk disitu, ternyata eh ternyata gadis2 yang udah ‘cukup umur’ dibawa ke Jakarta, untuk bekerja sebagai PSK, di pub / bar, dan tempat2 sejenis itu. Para orang tua bagaikan mendapat doorprize jika anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, berparas elok pula. “Anak seperti itu akan dibayar mahal oleh para agent dari Jakarta”, kata mereka. Biasanya agent akan memberikan DP sebagai ‘tanda jadi’ saat anak itu berumur 7 tahun, sehingga pihak orang tua tidak akan memberikan kepada agent lain. Persis halnya petani ijon.

Gila!! Orang tua bukannya melarang anaknya untuk menjual diri, malah berlaku seperti makelar kepada orang2 yang disebut agent. Mereka dengan keadaan waras pikiran dan sehat wal'afiat tega menjerumuskan anak2 mereka ke dalam pekerjaan nista!! Apa yang terlintas di kepala mereka sehingga bisa dengan santainya bertransaksi seperti itu? Apakah ekonomi dapat dijadikan alasan untuk itu? Apakah kemiskinan sudah membuat mata hati menjadi bebal, dan lupa bahwa dunia ini hanyalah tempat transit sementara? Lalu jika uang dan harta sudah diperoleh, dapatkah menjamin kebahagiaan sang anak, menjamin bahwa putrinya terbebas dari ancaman infeksi penyakit2 kelamin, bahkan AIDS? Entahlah!

Back to Bintulu, ada seorang kenalan kami, sebut saja Ray, bercerita bahwa dia bertemu istrinya di pub. Saat itu si perempuan bekerja sebagai penyanyi dan dia adalah pengunjung tetap. Mereka jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Tapi, untuk menikahi perempuan itu, biaya yang dikeluarkan tidaklah murah. Ray harus membayar RM 15.000 untuk ‘menebus’ calon istrinya dari tangan pemilik pub [Mrs. Ray berasal dari Indonesia]. Wowwww!!!

Ada juga cerita laki gw ketika minggu lalu dinas luar ke Miri. Abang dan 1 orang temannya makan siang di salah satu restoran Indonesia. Meja sebelahnya diisi oleh 6 orang cewe dengan dandanan menor, baju sexy, ngerokok ga berhenti2. Karena melihat cewe2 tersebut keluar dari pub di samping restoran, maka Abang berkesimpulan mereka adalah pub-girl yang sedang tidak dinas [iyalah wong dinasnya malam]. Satu diantaranya sedang menelepon dengan suara yang cukup keras sehingga memungkinkan Abang untuk mendengar apa yang cewe itu katakan. Dia menggunakan Bahasa Sunda untuk berbicara dengan orang yang diteleponnya. “Doakeun Neng nya Mak, Neng nuju damel di dieu ngumpulkeu artos kanggo Emak”. Jika ditranslate artinya adalah: Doain Neng yah Mak, Neng lagi kerja disini ngumpulin duit untuk Emak. Ya ampyun, lo kerja ga bener trus minta Emak lo berdoa buat kesuksesan lo?? Gw & Abang 100 % yakin kalo Emaknya si Neng nun jauh di Indonesia ga tau bahwa anak tersayangnya bekerja di pub.

Seringkali di televisi kita melihat polisi menangkap gadis2 belia yang bekerja sebagai PSK, lalu saat diinterogasi mengatakan bahwa mereka adalah korban “human trafficking”. Mereka dibohongi oleh orang yang membawanya dari kampung, dijanjikan akan bekerja di restoran, pabrik, toko, atau sebagai PRT, dengan gaji yang cukup besar. Ok,memang bayak case seperti itu. Tapi jika dilihat kisah si Neng tadi, berarti dia telah menikmati dunianya sampe minta doa restu Emaknya agar cepat sukses. Let’s say misalnya dia memang ‘ditipu’ oleh agentnya, terus kenapa dia tetep bertahan dengan pekerjaan itu? Kenapa dia ga berusaha untuk keluar atau melarikan diri?

Kemiskinan masih saja dijadikan alasan ataupun pembenaran untuk melakukan pekerjaan2 yang tidak halal. Padahal, selama kita mau berusaha, masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan, tanpa mengabaikan nilai2 agama. Kalau memang tidak sekolah, tidak memiliki skill apapun, lakukanlah apa yang bisa dilakukan semaksimal mungkin dengan kemampuan apa adanya itu. Berjualan pisang goreng di pasar, mencuci piring di warung makan, ambil cucian baju2 tetangga, jadi kuli angkut di pasar [malu dunks sama embah2 di Pasar yang udah tua tapi teteup kuat jadi kuli angkut], dan sebagainya. Intinya jika ada niat Insya Allah disitu ada jalan. Meskipun jalannya kadang mulus, kadang berbatu, kadang ada polisi tidurnya, kadang banyak tikungan tajam, tapi lebih mulia daripada jalan pintas yang menjual harga diri.
Perlu diingat bahwa kemiskinan sama halnya dengan kekayaan, merupakan ujian dari Sang Pencipta, dimana orang2 yang dapat melewati ujian tersebut dengan sebaik2nya akan ‘naik kelas’. Akankah kita masuk ke dalam golongan orang2 yang naik kelas dengan ranking 10 besar, atau malah tinggal kelas karena malas untuk berusaha?
Lanjuuut Maaaang - “Doakeun Neng nya Mak”

Thursday, 4 February 2010

Amplop Putih Dalam Lemari

Dulu, jaman masih single, yang namanya nabung kayanya susaaaaahhhhhh banget buat dilakukan. Entah kenapa ada ajah setan yang dengan sukses membujuk rayu. Misalnya pas awal gajian udah nyisihin beberapa ratus ribu di tabungan, eh tengah bulan pasti ajah tangan gatel buat ngegesekin kartu ATM. Lama kelamaan beberapa ratus ribu ituh menjelma menjadi beberapa puluh ribu, sampai akhirnya hanya tersisa beberapa ribu. Menyedihkan sekali, bukan?

Gw bukan tergolong cewe yang suka belanja baju, make-up, tas, sepatu, dll. Baju biasanya dapet lungsuran dari Nyokap, karena kebetulan badan kita ukurannya ga jauh beda. Kalopun beli, paling pas lagi mudik ke Jakarta, huntingnya di Tanah Abang ato ITC. Prinsip gw dalam membeli pakaian adalah murah, modelnya ok, sehingga bisa beli banyak. Tas juga dapet warisan dari Nyokap. Kalo sepatu, karena kaki gw lebih besar 3 nomor, maka terpaksa beli sendiri. Itupun gw beli yang murah meriah ajah, paling mahal 100rb-an. Make-up jangan dikata, gw termasuk cewe yang agak2 tomboy. Jadi paling banter cuma pake sun block [kerja di hutan kalo ga pake sun block muka bisa jadi kaya pantat wajan], bedak, rexona, parfum, lotion, dan lipstik kadang2. So, kemana dunks perginya uang gaji gw? Iya, ke makanan. Gw adalah tukang ngemil kelas kakap. Kamar gw penuh dengan coklat, biscuit, roti, sereal, dan cemilan2 lainnya. Belum lagi kalo bosen dengan makanan di mess langsung gw ngacir ke warung bakso, gado2, nasi rawon, pecel ayam, roti bakar, dan sebangsanya.

Kalo Ayahnya Zahia lain lagi kelakuannya. Waktu bujangan, Beliau demen banget beli barang dengan harga yang menurut gw ga masuk akal. Seperti beli kemeja 1 biji harganya 300 rb. Celana dalem 2 biji 100 rb. Kaos 1 lembar 200 rb. Sepatu kets 700 rb. Jam tangan harga 2 jeti. Alamakjang!

Perpaduan dua pribadi yang berbeda, dimana yang satu suka menyumbangkan uangnya ke restoran, toko roti, warung makan, dan supermarket, dengan orang yang hobi memakai barang2 branded, sangatlah ideal. Sehingga di awal2 pernikahan kami duit menjadi sesuatu yang keluar masuknya sangat lancar. Masuk 1x pas gajian, keluar berkali2 tanpa meninggalkan sisa di akhir bulan. Maka bisa dibilang walopun kami memiliki pemasukan dari 2 kantong, tapi kantongnya bolong dimana2 dan kami ga berusaha untuk menjahitnya. Jadi kalo dilihat dalam neraca keuangan saldo akhirnya adalah nol rupiah.

Tapi sekarang kelakuan kami berdua di masa2 jahiliyah itu telah berhasil diminimalisir. Kesadaraan itu datang setelah Zahia ada. Dengan tambahan anggota keluarga, yang mana untuk membesarkannya, kemudian menyekolahkan, tentu saja memerlukan uang yang tidak sedikit. Kami pun mulai menata keuangan keluarga dengan sebaik2nya. Ditambah status Abang sebagai karyawan kontrak (rata2 ekspat ga ada yang statusnya permanen, biasanya kontrak per 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun, tergantung perusahaannya. Kecuali kalo udah dapet PR), maka kami harus pandai2 menyimpan uang. Awal bulan ketika gajian, gw selaku manager keuangan langsung memotong 50% dari gaji. Uang tersebut gw masukkan ke dalam amplop putih yang sebelumnya telah diberi label “Saving Bulan Sekian”. Uangnya di klip, amplopnya di lem, lalu disembunyikan di dalam lemari. Sisa 50% lainnya gw masukkan ke dalam amplop2 lainnya, seperti: allowance Nyokap, bayar ART, belanja kebutuhan sehari2, jatah Abang untuk dinas luar (karena SPPD nya keluar belakangan), etc.

Pasti sodara2 ada yang ngerasa aneh kenapa koq nabungnya ga di rekening bank ajah, malah ngikutin aliran Jaman Batu disimpen di lemari [ga sama2 banget seh karena kalo Jaman Batu disimpen di bawah bantal]. Laki gw tercinta terkena sindrom tidak-percaya-sama-yang-namanya-bank. What? Hari ginih bo?? Sifat Beliau yang satu ini memang udah mendarah daging, susah banget diubahnya, walopun berjuta kali gw diskusikan dengan memberikan seribu satu macam alasan mengapa menyimpan di bank lebih aman daripada menyimpan di rumah. Mungkin karena udah turunan dari Nenek Moyang. Percaya ato ga, Bapak Mertua gw (= Bapaknya Abang, Ni Akinya Zahia) juga melakukan hal yang sama, begitu juga dengan Bapaknya Bapak Mertua (= Kakeknya Abang, Buyutnya Zahia). So apa boleh buatlah maka gw pun akhirnya menyetujui menabung dengan cara ini.

Apakah cara tersebut manjur sodara2? Alhamdulillah cukup manjur, meskipun pernah juga kami kebobolan beberapa kali. Karena dulu amplop ga di lem makanya tangan suka gatel ngoprek2 & ngambilin sedikit2. Hiks! Tapi cara menabung seperti ini ternyata ada nilai positifnya juga. Jika kurs lagi berbaik hati dengan para TKI [kami memang orang Indonesia dengan jiwa nasionalisme tidak begitu tinggi karena selalu berdoa agar nilai rupiah melemah_maapkan kami Pa SBY & Bu Sri Mulyani], maka detik itu juga kami bisa mentransfer uang ke Indonesia. Dapat dibayangkan dunks kalo uangnya masih di bank yang memilki limit transaksi pengambilan dalam sehari, mungkin baru bisa kirim uang beberapa hari kemudian, dengan kemungkinan nilai tukar sudah tidak setinggi kemarin (kalo lebih tinggi seh malah bersyukur). FYI, di Bintulu, mengirim uang via bank justru lebih murah nilai tukarnya dibandingkan dengan melalui kedai / toko yang membuka jasa pengiriman uang, padahal biaya kirimnya lebih mahal di bank. Lumayan kan kalo perbedannya 50 rupiah. Misalnya mo ngirim 1000 RM udah rugi 50 rb. Maka kami selalu memakai jasa pengiriman uang di toko walaupun terkadang 3 hari baru masuk ke rekening bank yang di Indonesia [yang penting uangnya sampai dengan selamat].

Kesuksesan perekonomian dalam sebuah keluarga kuncinya adalah disiplin, ini menurut gw. Istri dan suami harus disiplin dalam menggunakan setiap sen uang yang diperoleh, berapapun besarnya pendapatan, apakah 2 juta per bulan, atau 20 juta per bulan. Yang harus digaris –bawahi, bahwa sebanyak apapun uang yang masuk, jika kita tidak bijaksana dalam penggunaannya, maka akan habis juga. Tentu saja penyesalan selalu datang di akhir, saat semuanya telah terjadi. Point berikutnya yang juga penting adalah berapapun jumlahnya, setiap bulan harus diusahakan untuk menabung. Dan cara menabungnya bukan di akhir bulan, mengandalkan sisa uang bulan tersebut, tapi harus dipotong di awal bulan saat baru menerima uang. Ada yang punya pendapat lain, Temans?

NB: Saat ini kami juga sudah mengajarkan menabung kepada Zahia. Ayahnya membuatkan celengan dari kaleng bekas susu kental manis yang ada tutupnya [pengiritan neh ceritanya, karena daripada beli bagus gunain yang ada]. Setiap habis shopping dan ada duit kembalian berupa koin kami akan memberikannya kepada Zahia. Mulai dari koin 50 sen yang besar dan tebal, sampai koin 5 sen yang kecil dan tipis, Zahia udah bisa masukin ke celengan. Good Girl, Princess. Yang rajin nabungnya yah Sayang.

Lanjuuut Maaaang - Amplop Putih Dalam Lemari

Tuesday, 2 February 2010

Cerita Wiken Zahia & Ayah Bunda

Ayah Zahia orangnya super sibuk. Dinas luar mulu kerjanya. Bunda seh paham banget karena wilayah kerjanya yang luas, ada di Sarawak, Sabah, hingga perbatasan Brunei Darussalam. So, dalam 1 minggu palingan ada di rumah 1-2 hari. Jadi Sabtu dan Minggu merupakan hari yang spesial karena Ayah datang. Menyambut kedatangan suami tercinta, dari pagi Bunda heboh masak2, plus bikin cemilan dan minuman special untuk Ayah. Kegiatan kami pada saat weekend biasanya adalah sbb: Sabtu habis sholat dzuhur shopping ke mall untuk beli bahan pangan (stock untuk 1 minggu) dan kebutuhan2 RT yang udah pada habis. Hari Minggu pagi jalan2 keliling rumah, dan kalo sorenya ga hujan langsung ngacir ke Swimming Pool bawa Zahia berenang. Kadang jalan2 ke rumah Bu Dokter Endang di Taman Istiwajar atau ke rumah Datuk James.

Hari Sabtu kemarin disibukkan dengan acara shopping karena persediaan barang2 udah pada habis, mulai dari detergen, cairan pewangi untuk ngepel, sabun cuci piring, Milo nya Ayah, Anlene Bunda & Uti, gula, mentega, sayur, ayam, buah Zahia, dan teman2nya. Setelah belanja yang menghabiskan waktu 2 jam ituh, kami pun langsung pulang. Malamnya ga kemana2 karena Ayah cape abis nyetir seharian. Lagian wong laki jarang2 di rumah yah sekalinya ada dipake deh waktunya buat manja2an [cuittt…cuittt].

Hari Minggu pagi, Bunda dengan semangat mengajak Ayah berjalan2 dengan Zahia keliling rumah, menghirup udara pagi di tempat yang masih asri dan jauh dari kontaminasi asap2 kendaraan bermotor. FYI, rumah dinas kami berada di tengah hutan. Tapi jangan bayangkan hutan alam yang masih banyak harimau, gajah, beruang, dan sebangsanya. Tidak, Alhamdulillah tidak di hutan seperti tempatnya Tarzan (camp kami hanya 30 menit dari Bandar Bintulu). Cuma yah harap maklum yang namanya perusahaan forestry ga mungkin lah letaknya di tengah2 kota yang deket mall dan dengan mudah bisa pesen delivery service nya Pizza Hut. Setiap hari, jika cuaca bagus (ga hujan atau berkabut tebal), Zahia bangun pagi, dan penyakit males ga menyerang Bunda, maka Zahia dan Bunda (plus Uti dan Mak Cik) akan berjalan2 keliling rumah, kurang lebih 600 meter-an. Sedangkan kalo hari Minggu biasanya bertiga ajah jalan2nya (Zahia, Ayah & Bunda). Sambil berjalan Bunda nyanyi2 [dengan terengah2 sehingga nadanya jadi ga karuan], Zahia tepuk tangan. Bunda ceritain tentang burung, bunga, pohon Acasia, aliran air di parit, batu2an, anjing, mobil, pokonya semua yang keliatan di depan mata. Kalo Bunda cerita Zahia langsung heboh nunjuk2 ke objek yang lagi diceritain sambil ngoceh2 bahasa yang hanya Zahia & Tuhan yang tau [hihihihi]. Sering juga bibirnya dimonyong2in trus ketawa-ketiwi dengan genitnya sambil mejem2in mata [kalo genit mah turunan emaknya].

Sebelum2nya acara jalan2 merupakan tantangan buat Bunda, karena Bunda harus menggendong Zahia dari keluar rumah sampai di dalam rumah lagi (kecuali kalo ada Ayah bisa gantian). Bukannya Bunda sok2an kuat, Zahianya ogah digendong sama Mak Cik. Kalo Uti yang gendong kan kasian, bisa pengkor bo! Tapi, semenjak Zahia beumur 15 bulan, acara jalan2 jadi menyenangkan buangetz. Soalnya Zahia malah seneng berjalan sendiri. Sodara2 sekalian, Zahia tuh belom bisa jalan sendiri, masih “rambatan”. Kalopun jalan sendiri ga berpegangan paling jauh beraninya 5 langkah, itupun kaya lari tapi pake acara oleng2 gituh [bikin sport jantung yang ngeliat, takut jatuh]. Yang dimaksud jalan disini adalah berjalan sambil dipegangin kedua tangannya.

Jadi, pas hari Minggu kemarin Zahia + AyBun jalan2, dari depan rumah Zahia udah jalan sendiri. Tanah agak becek karena malamnya smpet hujan bentar, so Zahia Bunda pakein sandal. Kalo biasanya mah hajar ajah tanpa alas kaki [supaya kakinya kuat dan syarafnya ngerasain apa yang sedang diinjeknya, apakah tanah, rumput, atau batu. Sekalian pijet refleksi tradisional juga]. Di jalanan turunan yang berbatu2 pun, Zahia tetep ga mo digendong. Beberapa kali kita berhenti. Pas di tepi jalan ada Mimosa pudica, kita berhenti. Bunda suruh Zahia nyoba untuk sentuh daunnya pake tangan dan kakinya, sambil dijelaskan bahwa daun putri malu akan segera menutup jika mendapat sentuhan. Waktu ada parit, kita main lempar2an batu. Ayah jelaskan bahwa kalo batu dilemparkan ke air, maka airnya akan muncrat [Bun, plizz deh bahasanya pake Bahasa Indonesia yang sesuai EYD]. Semakin besar batunya, air yang muncrat akan semakin banyak / tinggi. Zahia juga nyoba ngelempar batu walopun deket ajah jatuhnya [it’s ok Hon]. Ketika ngeliat pohon Acasia, Ayah memetikkan daunnya untuk Zahia pegang sehingga Zahia bisa merasakan bagaimana pertulangan daunnya, apakah menyirip atau sejajar. Begitu juga saat melintasi jalan yang banyak kerikil, kita nongkrong sebentar buat poto2 [narsisnya kumat]. Zahia duduk dengan antengnya dan mainin kerikil2 yang ada. Bahkan kalo ga dilarang tu anak dah mo tiduran ngampar di tengah jalan. Walah Nduk! Pas ada anjing lewat, Zahia langsung niruin suara dogi yang lagi nahan pup. Yang paling lama kami berhenti di pokok2 anggrek hutan. Selain berpoto2, kami juga ngambilin anggrek2 hutan yang cantik ituh untuk dimasukkin ke dalam gelas trus dipajang di atas kulkas (karena di rumah ga punya vas bunga). Total Zahia berjalan sendiri, di hari Minggu yang cerah kemarin, adalah ……. 300 meter [prok-prok-prok, tepuk tangan meriah buat Zahia]. Huebatnya cinta AyBun!! Good girl, tingkatkan terus prestasimu yah Sayang.

Sesampainya di rumah Zahia langsung nenen, terus mandi. Oya sodara2, Zahia sekarang udah pinter loh simpen baju kotornya sendiri di keranjang khusus untuk pakaian kotor dan buang diapersnya ke tempat sampah. Malah sekarang kalo di kamar ada baju / kain / apapun yang kotor2 Zahia dengan semangat masukkin ke keranjang merah itu. Sebelumnya, sandal yang bekas dipake jalan2 juga dimasukkan lagi ke box tempat sepatu dan sandal Zahia. Acara mandi pun jadi lebih menyenangkan. Zahia pegang showernya sendiri, ngeguyur badannya. Walopun ga jarang showernya diarahkan ke Bunda yang akhirnya jadi ikutan mandi. Kalo Bunda bilang “shampoo your hair”, Zahia langsung angkat tangannya dan nyampoin kepalanya. Kalo Bunda bilang “soap your body”, langsung deh dengan heboh nyabunin seluruh badannya. Dan kalo pipis / pup, terus AyBun cebokin di kloset, Zahia juga udah pinter neken flushnya. Terus kalo Bunda tanya "udah belum mandinya?" Zahia langsung jawab "udah". Hehehe, pokonya 4 jempol deh buat anak AyBun yang pintar [NB: kalo belum jawab jangan coba2 diangkat dari kamar mandi, ngamuk yang adanya].

Habis mandi Zahia langsung makan pake oat + daging payau (rusa) rebus + daun ubi. Untuk minumnya udah Mak Cik siapkan jus pear. Sementara Bunda nyuapin Zahia, Ayah sang chef handal di rumah langsung ngeluarin daging dan tulang payau dari kulkas dan bikin 2 menu sekaligus: rendang dan sup tulang. Mmmm….yummy!! Tambah lope2 deh sama suamikyu. Tapi yah sodara2, ternyata tulang payau ga enak dibikin sup. Kenapa? Karena ga berlemak. Sup tanpa kaldu kan rasanya hambar. Untuk mengakalinya, Bunda menggoreng tulangnya (bukan tulang doang koq karena disekelilingnya masih nempel daging), yang terlebih dahulu dilumurin dengan tepung terigu + garam + merica. Jadi deh tulang berdaging rasa krispi. Uenak tenan. Sayurnya adalah pecel ketimun ala Mak Cik. Kami pun makan dengan lahapnya, apalagi dah lama ga makan daging payau, terakhir waktu di Kaltim dulu. Lucunya, Zahia pas ngeliat rendang dan tau rendangnya dikasih cabe, langsung nengok ke arah AyBun sambil ssshhhhh…..sssssshhhhh…. kaya orang kepedesan gituh. Huahahaha, lutuna Tuan Putri. Adegan makan2 pun ditutup dengan menu es kolak pumpkin buatan Bunda.

Habis makan, perut kenyang, penyakit ngantuk pun datang. Langsung deh kami bertiga grok2 dengan sukses. Sorenya, setelah bobo siang, sekitar jam ½ 4 kami cabs ke Bandar karena Ayah mau scan sesuatu (di camp ga ada scanner). Pulangnya Bunda beli roti tawar dulu di Chef. Malamnya Bunda sibuk beres2 pakaian Ayah karena besok, Senin siang, Ayah udah cabut lagi dinas ke Miri dan Lawas, sampai hari Jum'at. Weleh…weleh…sibuknya Om yang satu ini. Tinggal bininya deh yang garuk2 karena jablay [sensor!!!!!].

So, gimana dengan wiken kemarin, Temans? Pasti menyenangkan dunks kumpul dengan suami dan anak2 tercinta.
Lanjuuut Maaaang - Cerita Wiken Zahia & Ayah Bunda